Gerakan Emas Indonesia merupakan gerakan non-partisan yang bertujuan untuk mengedukasi masyarakat akan pentingnya menyimpan emas sebagai pengganti uang. Sebagaimana kita ketahui bersama, nilai uang kertas bergantung pada kondisi ekonomi suatu negara dan dunia pada umumnya. Rontoknya nilai tukar rupiah terhadap dollar tahun 1997an memberikan kita pelajaran penting bahwa orang yang tadinya ‘miskin’ bisa mendadak ‘kaya’ karena menyimpan dollar. Namun sebaliknya, orang yang tadinya ‘kaya’ bisa mendadak ‘miskin’ karena transaksi usahanya menggunakan mata uang dollar. Sebelumnya tahun 1965, pemerintah Indonesia pun pernah melakukan redominasi terhadap nilai rupiah secara dramatis. Uang Rp.1000 hanya bernilai 1 rupiah. Saat itu juga banyak orang kaya mendadak miskin karena nilai asetnya yang tergerus.
Emas bukan sekedar instrumen investasi melainkan juga sumber kesejahteraan masyarakat. Butuh waktu yang cukup lama agar masyarakat bisa teredukasi dengan baik mengenai pentingnya menyimpan aset dalam bentuk emas. Gerakan Emas Indonesia ingin memberi informasi kepada masyarakat bahwa uang kertas nilainya sangat bergantung dari negara penjamin, dan tentu sangat bergantung pada inflasi. Pernah ada peristiwa yang sangat memilukan akibat uang kertas yang tidak bernilai di Zimbabwe saat harga 3 butir telur mencapai 100 miliar dollar Zimbabwe. Inilah akibatnya bila uang kertas, yang notabene tidak punya nilai intrinsik, dipakai untuk transaksi.
Bila melihat grafik harga emas yang cenderung fluktuatif, sebenarnya itu bukan menunjukkan nilai emasnya yang turun naik, melainkan fluktuasi mata uang itu sendiri terhadap nilai emas. Sebab uang kertas sangat berhubungan erat dengan cadangan emas yang tersedia. Maka kita tidak bisa menyimpulkan bahwa harga emas turun atau naik karena nilainya memang stabil. Harga emas pernah ditentukan standarnya dengan dollar Amerika dalam perjanjian Bretton Woods. Isinya merupakan kesepakatan 44 negara untuk menetapkan jaminan emas sebesar 1 troy ounce (Ozt) emas bila akan mencetah uang kertas dollar AS sebesar 35 USD. Perjanjian ini hanya bertahan 27 tahun (1944-19771) dan tidak berlaku lagi karena kesulitan Amerika dalam mencari emas sebagai cadangan devisa mereka setiap mencetak uang USD.
Kegagalan Amerika dalam mencari emas sebagai devisa mengartikan bahwa uang kertas USD tidak jauh beda dengan kertas lain. Untuk mencetak 100 USD hanya dibutuhkan total 4 sen (biaya kertas dan tinta) atau hanya 0,04% nilai riilnya. Jika saja masyarakat Indonesia sudah teredukasi akan tingginya nilai emas, tentu tidak ada kejadian emas di Freeport dibawa ke Amerika dan pemerintah kita diberikan uang kertas yang tidak bernilai. Indonesia saat ini hanya memiliki cadangan emas yang disimpan di Bank Indonesia sekitar 4.3% dari total cadangan devisa emas dunia. Ini merupakan angka yang rawan bagi Indonesia untuk dikendalikan ekonominya oleh negara lain yang memiliki cadangan emas yang lebih besar. Untuk mencegah hal tersebut terjadi, sudah sewajarnya masyarakat kita mengalihkan simpanannya dalam bentuk emas dan bukan rupiah.
Gerakan Emas Indonesia bukan sekedar gerakan sosial, namun juga gerakan pendidikan yang jangka panjangnya mampu mencetak generasi-generasi yang mampu mengolah sumber dananya menjadi produktif. Tujuannya adalah agar masyarakat Indonesia lebih memperhatikan nilai investasi ketimbang sekedar uang kertas. Dan itu bisa menyelamatkan Indonesia apabila dihantam krisis global berkepanjangan, karena aset yang dimiliki bukan lagi aset kertas yang tidak bernilai.
Hak Cipta © 2013, PT. Golden Mandiri Investama
Dilarang memperbanyak, mengutip sebagian atau keseluruhan dokumen ini tanpa seijin PT. Golden Mandiri Investama
(email info@goldenmandiriinvestama.com).